Kamis, 13 Juni 2013

Tertanda, Milikmu, (mungkin untuk) Selamanya.



...

Untuk seseorang yang sudah begitu lama mengisi ruang hati,
ruang hati yang berkali-kali nyaris terisi namun kemudian ditinggal pergi.
Untuk seseorang, yang berkali-kali mengingatkanku,
bahwa hidup ini bagai setitik pasir di tengah alam semesta, 
yang selalu bilang...masalah dunia adalah setitik debu
di seluruh alam jagat raya,

kepadamu, aku tulis sajak ini.

Pernah membayangkan aku sebagai suatu rumah?
Rumah dengan hanya satu pintu dengan jendela-jendela sempit yang suram dan berdebu.
Yang terlalu pengecut menatap dunia luar dan terlalu paranoid untuk menerima tamu.
Bayangkan aku demikian, karena aku mungkin bukanlah sesosok manusia. 
Bisa jadi aku memang sebuah rumah.

Bayangkan aku adalah sebuah rumah, dengan cat yang terus berganti mengikuti musim,
dengan satu pintu mengarah ke timur dan empat jendela sempit meninggi.

Aku rumah yang tak berpenghuni, yang dibangun tuan-Ku
 dengan satu tujuan yang sampai kini tidak pernah aku tahu (dan masih aku cari tahu).
Berkali-kali seseorang ingin masuk kepadaku, namun terhenti di beranda depan,
tak mampu berkompromi dengan teka-teki yang kusodorkan.

Namun kamu, berhasil memecah teka-teki
yang bahkan jawabannya tak pernah kutahu, dan sejak itu kamu menjadi penghuni tetapku.
Kamu torehkan ceritamu, kamu lukiskan kehidupanmu
 di kusen-kusen jendela yang buram dan kusam.
Di pintuku, tergantung mimpi-mimpimu 
dan di seluruh ruang-ruangku tertata sebuah hal asing bagiku : cinta.
Kau bisikkan kata-kata asing yang kini samar kupahami 
dan rumah itu kini tidak lagi berganti cat sesuai musim; 
kaulah kini sang musim yang mengganti catku sesuka hatimu.

Setahun, dua tahun...semua berjalan demikian adanya.
Kau selalu pulang padaku, dari pengembaraanmu yang panjang. 
Di kala hujan...di kala panas, bersamaku kau habiskan waktumu.
Satu-satunya tempat bagimu bernaung adalah aku. 
Cukup bagiku mengenalmu dari senandung manismu, nyanyian sepimu, 
derai tawamu yang mengenyangkan.

Namun seiring musim dingin yang panjang kali ini, 
suara langkahmu semakin jarang kudengar dan jendelaku kini semakin berdebu. Jauhkah kini perjalananmu?
Kuterka-terka...jarakmu bermil-mil entah dimana.
Seseorang sudah lama nyaris tak pulang dan terlalu betah dalam pengembaraan; kamu.

Senyummu hanya dapat kurangkai dari serpihan jejak langkahmu yang tertinggal di beranda, 
dari sidik-sidik jarimu yang menempel di kenop pintu.
Dimanakah dirimu?
Aku rumah, aku sudah ditakdirkan menunggu 
dan sekalipun aku setengah mati ingin mencari, aku tak kuasa. 
Harus mencari kemana?
Itu pertanyaan yang kutanyakan pada cermin, bodohnya...cermin tak bisa bicara.


Ceritamu, 
yang kau bisikkan di kala malam...
dan sapaan hangatmu di kala pagi yang membuncah riang...kini nyaris tak terdengar lagi.
Berkali-kali kau bilang akan pulang, dan aku menunggu, 
terus menunggu...

Sesekali kau datang, bilang kau tak berubah dan akan terus pulang 
tapi alam bawah sadarku mendengungkan sebaliknya...


Nah, pergilah kau sekarang,
pengembaraanmu memang panjang, aku tahu.
Sampaikan salamku pada troll, dwarf dan elf yang kau temui.
 Berjanjilah kau tidak akan melompat dari perahu saat mendengar para gadis duyung keji merayumu.

Aku rumah, aku harus menunggu. 
Pintuku tidak bisa menerima banyak tamu, sebab satu sudah terlalu banyak.
Janjimu terpatri di keset pintu, dapat diinjak siapapun yang ingin singgah, tapi aku yakinkan...
aku rumah, dan aku harus menunggu.

Sekalipun aku ingin mengusirmu pergi, memintamu angkat kaki dan melempar koper-kopermu
ke pekarangan depan, aku tak kuasa karena aku hanyalah sebuah rumah.

Nah.
Aku tidak bodoh tapi aku masih punya keyakinan.
Kau kembali atau mungkin tidak akan kembali, itu yang aku yakini. 
Keduanya bisa terjadi; keduanya adalah pilihanmu.

Jadi pergilah mengembara, aku mungkin dapat marah tapi aku memang harus menunggu. 
Dan marahku akan reda selepas matahari terbenam.
Lekaslah pulang. Sebab pada hakekatnya, rumah yang sejati tidak akan menolak tuan rumahnya;
pintu rumahku akan selalu terbuka untuk hati tulusmu.

Selesaikan pengembaraanmu, pulanglah membawa harapan yang pernah kita bangun.
Aku tidak sabar tapi aku mau menunggu.
Berjanjilah jangan membuatku menunggu terlalu lama sebab dua hal dapat terjadi; 
seseorang dapat merebut kunciku darimu atau aku sudah terlalu lelah menunggu 
hingga atapku roboh tak berdaya menahan kgetiran
dan fondasiku rapuh dihabisi rayap atau yang aku sebut : keraguan.

Lekaslah pulang, atau tidak pulang sama sekali. 
Tolong kabari aku, begitu kau dapat menulisiku surat dari suatu tempat.
Aku (masih) akan menunggu.


Tertanda,
milikmu, (mungkin untuk) selamanya.


Image Source : CLICK HERE